Fokus pada hukum sekarang lebih teralihkan kepada perkembangan teknologi yang cenderung menuju serba instan dan serba cepat.
Hal-hal yang digunakan sebagai pembenaran terhadap penerobosan hukum pun semakin banyak, salah satunya adalah kecenderungan muncul semboyan “Peraturan dan hukum dibuat untuk dilanggar”. Ironisnya, semboyan pelanggaran hukum tersebut justru sudah mulai tertanam di benak masyarakat sejak kanak-kanak. Sekadar contoh kecil, banyak siswa yang tidak lagi mengindahkan larangan mencoret-coret meja sekolah.
Sikap hormat terhadap hukum pun menjadi hal yang mustahil untuk dapat ditumbuhkan bila esensi taat hukumnya sudah terlanjur bergeser menjadi acuh hukum.
Sikap mengacuhkan hukum yang berkelanjutan ini bukanlah sepenuhnya kesalahan dari masyarakat, tapi juga didukung dengan tidak efektifnya supremasi hukum di negeri ini. Beberapa faktor penyebab palanggaran peraturan ini antara lain, banyak aturan yang dibuat dengan tidak mempertimbangkan realitas di lapangan. Seperti isu terbaru yang terjadi di Jakarta, yaitu adanya peraturan yang melarang mobil-mobil parkir di tepi jalan umum tertentu, namun tidak didukung dengan ketersediaan lahan parkir yang memadai. Dapat diprediksi hal ini menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi keengganan masyarakat untuk mematuhi aturan, terkait dengan kurang realistisnya butir-butir aturan itu sendiri.
Selain itu, faktor indisipliner dari penegak hukum dapat mendorong timbulnya pelanggaran hukum. Contoh sederhana adalah saat supir bus metromini menurunkan penumpangnya di wilayah yang terdapat rambu lalu lintas “dilarang berhenti”. Alasan utama yang menjadikan hal tersebut adalah tidak adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum setempat.
Contoh serupa dengan kasus yang berbeda, pemerintah melarang warganya untuk tidak membuang sampah di sungai. Namun, pemerintah juga tidak memberikan hukuman konkrit terhadap pelaku pembuangan sampah di sungai sesuai aturan hukum yang ada. Akhirnya, peraturan tinggal peraturan.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap aturan dan hukum, dipengaruhi setidaknya oleh tiga hal. Pertama, kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai peraturan yang ada, baik peraturan lama maupun yang telah disempurnakan (baru). Minimnya pengetahuan masyarakat akan hukum, juga merupakan salah satu penyebab pelanggaran hukum.
Kedua, hukum yang ada saat ini dirasakan terlalu bersifat kaku sehingga masyarakat seolah-olah diperlakukan sebagai robot yang didikte dalam melakukan berbagai kegiatan. Jika saja hukum lebih mau bersifat lebih humanis maka masyarakat akan melaksanakan hukum dengan sepenuh hati tanpa adanya rasa keterpaksaan, sehingga dengan sendirinya mampu menimbulkan rasa hormat terhadap hukum, bukan karena takut denda.
Ketiga, adanya persepsi masyarakat mengenai lemahnya kemampuan hukum untuk membuat hidup lebih tertib dikarenakan semakin maraknya politik “suap” dalam penyelesaian pelanggaran hukum. Kebengkokan hukum yang terjadi semakin menjatuhkan harga diri dan kehormatannya di mata masyarakat luas.
Cacat hukum ini bisa jadi disebabkan karena ketidakmampuan dan ketidakmauan subjek hukum untuk melaksanakan aturan hukum yang berlaku. Hal ini kemungkinan berakar dari penanaman kultur yang terlanjur salah sejak awal dalam benak masyarakat. Misalnya saja adanya anggapan bahwa helm hanyalah sebuah alat untuk menghindari pantauan polisi di jalan besar, bukan demi keselamatan pengendara.
Ingatkah Anda, tayangan iklan rokok yang memperlihatkan sebuah contoh pelanggaran rambu lalulintas? Pengemudi cuek saja melanggar rambu karena merasa tidak diawasi polisi lalu lintas. Saat akhirnya seorang polisi muncul dari semak, pengemudi itu kaget dan berkata, “abis…enggak ada yang liat sih”.
Dilihat melalui berbagai perspektif, suatu aturan hukum memang tidak selalu mampu mencakupi seluruh lapisan masyarakat. Namun sebuah titik nadir kesadaran adalah kunci bagaimana kita, sebagai masyarakat yag baik, mencoba untuk melaksanakan berbagai aturan yang ditetapkan dengan semaksimal mungkin.
Poin yang harus disadari oleh setiap diri, bahwa masing-masing aturan dibuat bukan tanpa pertimbangan, aturan dibuat untuk mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan bermasyarakat. Jika tidak berawal dari diri masing-masing, sampai kapan negara kita tercinta ini akan semakin tergugu atas semua aturan yang telah atau akan ditetapkan oleh pemerintah?
Disisi lain diperlukan perubahan dan penyempurnaan sistem hukum yang lebih bersifat humanis dan fleksibel agar dapat dipatuhi seluruh masyarakat. Hukum dan aturan seharusnya memiliki karakteristik yang secara sistimatik memenuhi tuntutan dinamika kompleksitas situasi lingkungan, karena adanya pergeseran paradigma yang menuntut adanya perubahan kompetensi pribadi menjadi kompetensi organisasi. Peningkatan kepekaan hukum dan aturan akan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dengan pola horizontal participate dan bukan lagi mekanisme vertical (top down). Hal lain yang dapat pula dilakukan, adalah dengan mengoptimalkan penerapan teknologi informasi dalam penyelenggaraan peraturan pemerintahan.
Sumber: Suara Merdeka Cybernews