KAJIAN ATAS PEMAHAMAN PEMBERIAN KESEMPATAN 50 HARI KALENDER, PEMUTUSAN KONTRAK DAN SANKSI-SANKSI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Bab I
Pendahuluan
Pada tanggal 1 Agustus 2012 ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. dalam Perpres tersebut terdapat pasal yang memberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan selama 50 hari, yaitu Pasal 93 ayat (1) huruf a.1 dan a.2 yang menyatakan bahwa:
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila:
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2.setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan
ketentuan tersebut diatas merupakan ketentuan setelah mengalami perubahan sebagaimana diatur sebelumnya dalam Perpres 54 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak apabila:
- denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak;
Bab II
Permasalahan
Bagaimanakah konsekuensi yuridis dalam pengadaan barang/jasa pemerintah terkait pemberian kesempatan 50 (lima puluh) hari, pemutusan kontrak dan sanksi-sanksi yang dapat diberikan proses pengadaan barang/jasa pemerintah?
Bab III
Pembahasan
- A. Pemahaman atas Pasal 93 ayat (1) Perpres 70 Tahun 2012 terkait pemberian kesempatan menyelesaikan pekerjaan kepada penyedia barang/jasa selama 50 (lima puluh) hari
Pasal 93 Perpres 70 Tahun 2012 mengatur hal-hal terkait pemutusan kontrak dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, selanjutnya ayat (1) pada pasal tersebut mengatur mengenai syarat maupun kondisi-kondisi dalam proses pengadaan barang/jasa yang dapat dilakukan pemutusan secara sepihak oleh PPK. Salah satu syarat/kondisi yang dapat dilakukan pemutusan secara sepihak oleh PPK adalah sebagaimana termuat dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a.1 dan a.2 yang menyatakan bahwa:
(2) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila:
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2.setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan
ketentuan tersebut diatas merupakan ketentuan setelah mengalami perubahan sebagaimana diatur sebelumnya dalam Perpres 54 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
(2) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak apabila:
- denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan Penyedia Barang/Jasa sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak;
hubungan antara Pasal 93 ayat (1) huruf a antara Perpres 54 Tahun 2012 dan perubahannya dalam Perpres 70 Tahun 2012 pada dasarnya mengatur hal yang sama terkait keterlambatan maksimal yang dapat diberikan toleransi oleh PPK, hal tersebut dapat kita simulasikan dalam tabel dibawah ini:
Uraian |
Koefisien |
Nilai Kontrak (Rp) |
waktu pekerjaan yang terlambat (hari) |
Nilai (Rp) |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
(5=2x3x4) |
denda keterlambatan |
0,001 |
200.000.000 |
50 |
10.000.000 |
jaminan pelaksanaan |
0,05 |
200.000.000 |
n/a |
10.000.000 |
Berdasarkan simulasi dalam tabel tersebut nilai maksimal denda keterlambatan dengan perhitungan 1/1000 x hari keterlambatan x nilai kontrak dengan keterlambatan 50 hari (asumsi dalam kontrak yang denda keterlambatan dihitung berdasarkan seluruh nilai kontrak bukan bagian tertentu dari nilai kontrak) akan sama dengan nilai maksimal dari jaminan pelaksanaan sebesar 5%.
Terkait dengan pengaturan pemberian kesempatan 50 hari yang mulai diatur dalam perubahan kedua Perpres 54 Tahun 2010, yang diatur dalam huruf a.1 dan a.2 memiliki konsekuensi yang berbeda, yaitu sebagaimana berikut ini:
- huruf a.1 : PPK tidak memberikan kesempatan maksimal 50 hari kepada penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan sejak berakhirnya pelaksanaan pekerjaan karena dengan mengacu pada performa dan progres pekerjaan penyedia barang/jasa dianggap tidak akan mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya;
- huruf a.2 : dengan mengacu pada pertimbangan performa dan progress pekerjaan penyedia barang/jasa yang dianggap masih mampu untuk menyelesaikan pekerjaan dengan diberikan kesempatan maksimal 50 hari akan tetapi sampai dengan 50 hari kesempatan itu diberikan pihak penyedia barang/jasa tetap tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.
Atas kedua huruf (a.1 dan a.2) tersebut dalam memahaminya harus diterjemahkan secara bertahap saling berhubungan satu sama lainnya maksudnya adalah pemerintah dalam hal ini memiliki toleransi kepada penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan, pertama yang harus dilakukan pemerintah melalui PPK adalah meneliti apakah PPK yakin dengan melihat performa dan progres pekerjaan dari penyedia/jasa jika diberikan kesempatan 50 hari untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut akan selesai dan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam kontrak maka dengan demikian PPK dapat memberikan kesempatan kepada penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari akan tetapi jika PPK tidak yakin berdasarkan hasil penelitiannya terhadap performa dan progres pekerjaan yang diberikan oleh penyedia barang/jasa maka PPK dapat memutus kontrak dengan tidak memberikan kesempatan penyelesaian pekerjaan maksimal 50 hari kepada penyedia barang/jasa untuk selanjutnya Pemerintah segera mencari penyedia barang/jasa lainnya yang dapat menyelesaikan kebutuhan atas barang/jasa dimaksud baik melalui pelelangan umum maupun pengadaan/penunjukan/pemilihan langsung mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dilakukan penganggaran untuk penyelesaian sisa pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya jika waktu penyelesaian pekerjaan tersebut mendekati tutup tahun anggaran berjalan sehingga tidak memungkinkan dilakukan proses pengadaan kembali. Kedua, setelah PPK yakin dengan pertimbangannya berdasarkan penelitian atas kemampuan penyedia barang/jasa dengan memberikan kesempatan maksimal 50 hari untuk menyelesaikan pekerjaan kepada penyedia barang/jasa maka apabila setelah diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu maksimal 50 hari penyedia barang/jasa dimaksud tidak juga dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kesempatan tersebut maka PPK dapat memutus kontrak secara sepihak.
Frasa Kesempatan dan Perpanjangan
Perlu kami uraikan lebih lanjut terkait frasa “kesempatan” dalam huruf a.1 dan a.2, kesempatan berbeda pemahamannya dengan perpanjangan. Dalam Perpres 70 Tahun 2012 dan peraturan sebelumnya lebih mengenal frasa perpanjangan, perpanjangan ini muncul khususnya terkait perpanjangan waktu penyelesaian pekerjaan yang diberikan oleh PPK, syarat-syarat perpanjangan waktu diatur dalam lampiran Perpres 54 Tahun 2010 pada Lampiran III (sebagai contoh untuk pengadaan kontruksi) bagian C.2.m tentang perpanjangan waktu pelaksanaan yang menyatakan bahwa:
1) Perpanjangan waktu pelaksanaan dapat diberikan oleh PPK atas pertimbangan yang layak dan wajar untuk hal-hal sebagai berikut:
a) pekerjaan tambah;
b) perubahan disain;
c) keterlambatan yang disebabkan oleh PPK;
d) masalah yang timbul diluar kendali penyedia; dan/atau
e) Keadaan Kahar.
Syarat-syarat perpanjangan waktu pelaksanaan tersebut sifatnya kumulatif atau alternatif karena mengandung frasa “dan/atau” atau dengan kata lain syarat tersebut dapat dipenuhi seluruhnya atau salah satu pun dipenuhi dapat digunakan sebagai pertimbangan pemberian perpanjangan waktu. Konsekuensi hukum dengan diberikannya perpanjangan waktu pelaksanaan ini berarti sejak tanggal berakhirnya waktu pelaksanaan pekerjaan yang telah disepakati dalam kontrak sampai dengan berakhirnya waktu perpanjangan waktu pelaksanaan maka penyedia barang/jasa tidak dikenakan sanksi denda keterlambatan. Lain halnya dengan frasa “kesempatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a.1 dan a.2, menurut hemat kami, dalam “kesempatan” ini apabila penyedia barang/jasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu akan tetapi dengan pertimbangan berdasarkan penelitian atas kemampuan penyedia barang/jasa menyelesaikan pekerjaan maka penyedia diberikan toleransi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut oleh PPK, akan tetapi dalam frasa “kesempatan” ini memiliki konsekuensi hukum bahwa sejak diberikannya kesempatan menyelesaikan pekerjaan ini berarti sejak tanggal berakhirnya waktu pelaksanaan pekerjaan yang telah disepakati dalam kontrak sampai dengan berakhirnya waktu kesempatan yang diberikan (maksimal 50 hari) untuk menyelesaikan pekerjaan maka penyedia barang/jasa dikenakan sanksi denda keterlambatan.
- B. Pemahaman atas pemutusan kontrak
Hal-hal terkait pemutusan kontrak dalam Perpres 70 Tahun 2012 diatur dalam pasal 93, kondisi/syarat-syarat PPK dapat memutus kontrak diatur dalam ayat (1) Pasal tersebut yang menyatakan bahwa:
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila:
- a. kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak;
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;
- b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
- c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; dan/atau
- d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
Kondisi/syarat-syarat terkait pemutusan kontrak tersebut sifatnya kumulatif atau alternatif karena mengandung frasa “dan/atau” atau dengan kata lain kondisi/syarat tersebut dapat dipenuhi seluruhnya atau salah satu pun dipenuhi dapat digunakan sebagai pertimbangan PPK dapat memutuskan kontrak.
Konsekuensi hukum yang terjadi dengan diputusnya kontrak bagi penyedia barang/jasa diatur dalam ayat (2) nya yang menyatakan bahwa:
(2) Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa:
- a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
- b. sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
- c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
- d. Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam
Tindakan-tindakan pengenaan dalam hal pemutusan kontrak tersebut diatas memiliki sifat komulatif karena hanya mengandung frasa “dan”, artinya apabila suatu penyedia barang/jasa dikenakan pemutusan kontrak maka tindakan-tindakan tersebut diatas harus dilaksanakan seluruhnya.
Perlu kami jelaskan lebih lanjut terkait salah satu syarat/kondisi penyedia barang/jasa dapat dikenakan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK, yaitu terkait pengaturan dalam ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa “Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan”. Pemahaman atas ketentuan tersebut bahwa menurut kami PPK dapat memutus kontrak secara sepihak apabila terbukti penyedia barang/jasa lalai/cidera janji, akan tetapi hal tersebut dimaksudkan tidak serta merta saat pelaksanaan kontrak PPK menemukan kelalaian atau cidera janji dalam pelaksanaan pekerjaan langsung diputus kontrak oleh PPK, karena terdapat syarat lain yang dimuat dalam kalimat berikutnya yaitu “….dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan”. Sehingga harus ada suatu tindakan peringatan/teguran terlebih dahulu terhadap penyedia barang/jasa untuk memperbaiki hal-hal yang ditemukan PPK terkait kelalaian/cidera janji dalam pelaksanaan pekerjaan oleh penyedia barang/jasa, jika proses tersebut telah disampaikan oleh PPK dan dalam waktu yang telah ditentukan pihak penyedia barang/jasa tidak juga memperbaiki kelalaian/cidera janji tersebut dan diyakini tidak ada itikad baik/usaha untuk memperbaiki hal tersebut maka untuk selanjutnya PPK dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak.
- C. Sanksi-sanksi yang berlaku dalam proses pengadaan barang/jasa Pemerintah
Terkait sanksi yang dapat diberikan bagi penyedia barang/jasa adalah apabila penyedia barang/jasa melakukan perbuatan/tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Perpres 70 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:
(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi adalah:
- a. berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/ Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
- b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/ memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
- c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
- d. mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;
- e. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab; dan/atau berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
Selanjutnya dalam ayat (2) nya, Perpres mengatur bentuk-bentuk sanksi apakah yang dapat dikenakan bagi penyedia barang/jasa apabila terbukti melakukan perbuatan/tindakan sebagaimana diatur dalam ayat (1). Sanksi-sanksi dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
- a. sanksi administratif;
- b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;
- c. gugatan secara perdata; dan/atau
- d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
Selain sanksi tersebut Pasal 119 Perpres 54 Tahun 2010 juga mengatur sanksi lainnya yaitu:
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf f, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a dan huruf b, dikenakan sanksi finansial.
Mekanisme/penerapan pemberian sanksi tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 118 ayat (3), (4), (5) dan (6) sebagaimana berikut ini:
(3) Pemberian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/daerah.
Dalam Perpres sanksi pengaturan sanksi tidak hanya ditujukan bagi penyedia barang/jasa saja, pihak-pihak lainnya yang terkait dalam proses pengadaan barang/jasa pun diatur pengenaan sanksinya sebagaimana berikut ini:
- Kelompok Kerja ULP/Pejabat pengadaan
Pasal 118 ayat (7) Perpres 70 Tahun 2012 dan Pasal 123 Perpres 54 Tahun 2010 mengatur sanksi apa saja yang dapat diberikan bagi kelompok kerja ULP/pejabat pengadaan yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 118 ayat (7) : Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, ULP:
a) dikenakan sanksi administrasi;
b) dituntut ganti rugi; dan/atau
c) dilaporkan secara pidana
2) Pasal 123 : Dalam hal terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan kepada anggota ULP/Pejabat Pengadaan sesuai peraturan perundang-undangan.
- PPK
Pasal 122 Perpres 54 Tahun 2010 mengatur sanksi yang dapat diberikan kepada PPK yaitu bahwa “PPK yang melakukan cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam Kontrak, dapat dimintakan ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut:
1) besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia; atau
2) dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak”.
terhadap kententuan ini perlu penjelasan lebih lanjut apabila sanksi tersebut diberikan kepada apakah PPK bertanggung jawab secara pribadi atau untuk dan atas nama Instansi memberikan ganti rugi atau kompensasi sesuai ketentuan dalam kontrak.
- Konsultan Perencana
Pasal 121 Perpres 54 Tahun 2010 mengatur terkait sanksi lainnya yang dapat diberikan bagi penyedia barang/jasa yang berperan sebagai konsultan perencana yaitu “Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian negara, dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi”.
Denda Keterlambatan
Sanksi lainnya yang dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa adalah terkait denda yang harus dibayar oleh penyedia barang/jasa jika penyelesaian pekerjaannya terlambat dari waktu yang telah ditentukan dalam kontrak. hal tersebut diatur dalam Pasal 120 Perpres 70 Tahun 2012 yang menyatakan:
Selain perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan.
Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 120:
Bagian kontrak adalah bagian pekerjaan yang tercantum di dalam syarat-syarat kontrak yang terdapat dalam rancangan kontrak dan dokumen kontrak. Penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain dan memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.
Menjadi pertanyaan besar terkait pengaturan pasal 120 ini, karena dalam ketentuan tersebut tidak diatur batasan maksimal denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 sebelum perubahan (Perpres 54 Tahun 2010) yang menyatakan bahwa:
Selain perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak, dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak atau bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya Jaminan Pelaksanaan.
Jelas berdasarkan ketentuan sebelum perubahan bahwa maksimal pengenaan denda keterlambatan adalah sebesar jaminan pelaksanaan (5%), apabila melewati jaminan pelaksanaan maka PPK harus memutus kontrak. jika kembali mengacu kepada pemberian denda keterlambatan yang diatur setelah perubahan Perpres yang tidak ada batasan maksimal denda keterlambatan, kita dapat menggunakan ketentuan pemberian kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan selama maksimal 50 hari kalender karena pada dasarnya waktu 50 hari keterlambatan sama besarannya dengan jaminan pelaksanaan 5%, akan tetapi seperti yang telah diuraikan sebelumnya tidak serta merta pemberian kesempatan 50 hari diberikan kepada penyedia barang/jasa harus terlebih dahulu ada penelitian dari PPK apakah penyedia barang/jasa tersebut mampu untuk menyelesaikan pekerjaan setelah diberikan kesempatan dimaksud.
Sanksi Pencantuman dalam Daftar Hitam
Terkait pencantuman dalam daftar hitam bagi penyedia barang/jasa yang diputus kontrak ada kalanya dalam satu instansi/daerah penyedia barang/jasa terikat dengan lebih dari satu kontrak pekerjaan dalam satu tahun anggaran, maka bagaimana jika dalam satu kontrak pekerjaan penyedia barang/jasa tersebut telah diputus kontrak dan didaftarkan dalam daftar hitam apakah hal ini secara langsung berpengaruh terhadap kontrak lainnya yang sedang berjalan? Hal tersebut diatur secara tegas dalam Penjelasan Pasal 124 ayat (1) Perpres 70 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:
Pengenaan sanksi daftar hitam tidak berlaku surut (nonretroaktif). Penyedia yang terkena sanksi daftar hitam dapat menyelesaikan pekerjaan lain, jika kontrak pekerjaan tersebut ditandatangani sebelum pengenaan sanksi.
Bab IV
Penutup
Berdasarkan kajian/tinjauan yuridis yang telah diuraikan sebelumnya, dengan ini kami berkesimpulan bahwa:
- Pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan maksimal 50 hari kalender tidak serta merta diberikan kepada penyedia barang/jasa, harus terlebih dahulu ada penelitian dari PPK melihat dari performa dan progres pekerjaa yang telah dilakukan apakah penyedia barang/jasa tersebut mampu untuk menyelesaikan pekerjaan setelah diberikan kesempatan dimaksud;
- Penyedia barang/jasa yang diputus kontrak dikenakan seluruh tindakan-tindakan yang harus dilakukan yaitu Jaminan Pelaksanaan dicairkan; sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan; Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam;
- Peraturan Presiden mengatur secara tegas terkait sanksi-sanksi apa saja yang dapat diberikan kepada Penyedia barang/jasa, PPK dan kelompok kerja ULP/Pejabat Pengadaan apabila dalam proses pengadaan barang/jasa terdapat pelanggaran terhadap prosedur/ketentuan yang berlaku.
Daftar Pustaka
- Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerint