BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai pemenuhan amanah undang-undang. Para insan media merupakan salah satu stakeholder yang menjadi mitra utama BPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Media harus terlibat dalam mencerdaskan dan meliterasi publik untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Demikian antara lain disampaikan Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo dalam acara Media Workshop BPK RI Perwakilan Provinsi Jateng pada Rabu (18/10) kemarin. Dilaksanakan di Kantor Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi Jateng, acara tersebut diikuti oleh sedikitnya 70 orang reporter dan wartawan dari media-media nasional maupun media lokal yang ada di Semarang. Acara bertema “Mekanisme Pemberian Opini atas Laporan Keuangan dan Pemeriksaan Keuangan Desa” itu dilaksanakan untuk meningkatkan kerja sama yang sinergis antara BPK Perwakilan Provinsi Jateng dengan insan media di semarang dan sekitarnya. Selain itu, acara tersebut diharapkan dapat membantu terciptanya kesamaan persepsi antara BPK dan pihak media dalam upaya bersama untuk lebih mendorong terciptanya tata kelola keuangan negara yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Dalam acara tersebut, Kepala Perwakilan (Kalan) BPK Provinsi Jateng Hery Subowo menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan maupun memberikan opini atas laporan keuangan pemerintah, pemeriksa-pemeriksa BPK selalu mendasarkan diri pada standar dan ketentuan yang berlaku serta berpegang pada nilai-nilai independensi, integritas, dan profesionalisme. Penentuan dan pemberian opini oleh BPK selalu didasarkan pada empat kriteria, yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,dan efektivitas pengendalian intern.
Lebih jauh Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo menjelaskan, Opini WTP belum bisa dijadikan dasar untuk memastikan bahwa sebuah Pemda sudah pasti bebas dari korupsi atau kinerja pelayanan publik. Untuk menilai persoalan korupsi ataupun fraud di sebuah entitas pemeriksaan diperlukan jenis pemeriksaan yang lain. “Tapi, LKPD yang sudah mendapat opini WTP dari BPK memiliki potensi mewujudkan tata pemerintahan yang bersih, karena data dan informasi pasti lebih terbuka dan transparan, sehingga lebih mungkin ditelusuri,” jelasnya.
Menurut Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo, dalam rangka memperoleh opini WTP, sedikitnya dibutuhkan adanya dua hal di sebuah pemerintah daerah. Pertama, adanya komitmen pimpinan daerah yang ditunjukan dengan berbagai kegiatan koordinatif yang melibatkan pimpinan eksekutif, legislatif, dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dengan BPK. Sedangkan yang kedua adalah adanya upaya manajemen Pemda yang ditunjukkan dengan berbagai langkah konkret dalam memperbaiki sistem pengendalian internal, misalnya: penertiban aset, pengendalian belanja, verifikasi dan validasi piutang, penyiapan implementasi SAP akrual, dan peningkatan kapasitas inspektorat.
Menggunakan analogi pengobatan, Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo menjelaskan, BPK ibarat dokter yang memeriksa dan kemudian merumuskan resep obat. “Penyakit tidak akan sembuh kalau resep obat tak ditebus. Resep ditebus tapi tidak diminum juga tidak akan sembuh. Diminum tapi tidak sesuai dosis juga tidak akan sembuh. Artinya, rekomendasi yang ada dalam LHP BPK sangat berpengaruh dalam penyelesaian permasalahan yang ada. Kalau tidak dilaksanakan sesuai rekomendasi, permasalahan itu akan terus berulang,” jelasnya
Menjawab pertanyaan tentang potensi opini WTP untuk kepentingan politik pemda, Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo mengatakan bahwa sah-sah saja opini WTP dianggap sebagai prestasi atau keberhasilan sebuah pemda, stidaknya dibandingkan dengan yang belum WTP. BPK tidak bisa mencegah hal itu dipolitisasi atau dimanfaatkan untuk kepentingan politis pihak-pihak tertentu karena hal itu di luar kuasa dan domain kewenangan BPK. “Tapi kami yakin dan bisa menjamin, dalam kami merumuskan opini BPK steril dari kepentingan politik,” tegasnya.
Pemeriksaan atas Pengelolaan Keuangan Desa
Dalam kesempatan yang sama, Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo juga menjelaskan perihal pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan desa. Kalan BPK Povinsi Jateng Hery Subowo menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan dana desa selama ini, baik dari sisi pengawasan berjenjang di level kecamatan maupun pengawasan fungsional oleh inspektorat daerah. Hal ini salah satunya dipengaruhi keterbatasan kemampuan sumberdaya pengawasan yang ada dibandingkan begitu luasnya cakupan area yang harus diawasi. “Pengelolaan keuangan desa ini ibarat blindspot yang selama ini tidak tersentuh secara maksimal, sehingga sangat rawan permasalahan dan penyimpangan” kata Kalan BPK Povinsi Jateng.
Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo mengatakan, sampai saat ini belum ada standar akuntansi yang berlaku khusus untuk entitas pemerintahan desa. “Walaupun sekarang sudah mulai disusun sistem yang memfasilitasi pemerintahan desa agar dapat menyusun laporan keuangan desa secara relatif mudah, namanya Siskeudes, namun memang belum ada standar akuntansi yang berlaku khusus untuk entitas pemerintahan desa. Bila kita paksakan desa menggunakan standar akuntansi pemerintahan, di mana sebuah entitas diharuskan membuat tujuh buah laporan, tentu akan sangat memberatkan pemerintah desa,” katanya.
Lebih lanjut Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo mengatakan, selain lemahnya pengawasan, permasalahan lain dalam pengelolaan keuangan desa adalah pengadaan barang dan jasa menggunakan dana transfer yang tidak sesuai ketentuan. “Hal tersebut antara lain terlihat dari belum dibuatnya spesifikasi teknis oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK) atas barang/jasa yang akan diadakan. TPK juga belum melakukan negosiasi yang dituangkan dalam Berita Acara Negosiasi Harga dengan penyedia barang/jasa untuk memperoleh harga yang lebih murah, khususnya untuk transaksi antara 50 juta hingga 200 juta rupiah, katanya,” katanya.
Permasalahan-permasalahan lain yang juga diungkap Kalan BPK Provinsi Jateng Hery Subowo terkait pengelolaan keuangan desa adalah adanya Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) sebuah pekerjaan juga disusun hanya berdasarkan harga indeks kabupaten, bukan berdasarkan data harga setempat atau harga pasar terdekat dari desa, adanya realisasi belanja desa yang belum didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap, dan terdapat bendahara desa belum melakukan penyetoran pajak dan pemungutan pajak atas transaksi pengeluaran.