KRISIS KEUANGAN GLOBAL DAN INDONESIA

dsc_0200dsc_02581Kuliah Umum dengan tema “Krisis Keuangan Global dan Indonesia” merupakan acara pertama yang diselenggarakan dalam rangka pembukaan dan peresmian BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Kuliah ini disampaikan oleh Prof. Dr. Anwar Nasution selaku Ketua BPK RI pada hari Rabu, 17 Desember 2008. Acara yang dimulai pukul 14.30 WIB bertempat di Gedung Prof. Ir. Soemarman, Gedung Pasca Sarjana UNDIP lantai 6, Jl. Imam Bardjo, SH Semarang. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 300 orang mahasiswa dan akademisi. Turut hadir pula Dra. Evita Eriati, MM. selaku Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Tengah dan Drs. Wahyudi Prasaja, dari Majelis Kode Etik BPK RI. Kuliah umum ini didahului sambutan dari Rektor UNDIP Prof. Dr. Susilo Wibowo yang sekaligus membuka acara. Dr. H. M. Natsir, M.Si., Ak., Pembantu Rektor II UNDIP, bertindak selaku moderator.
Dalam kuliah umum ini dipaparkan mengenai krisis perekonomian dunia dewasa ini yang berawal dari krisis pemilikan rumah (subprime mortgages) di Amerika Serikat yang mulai merebak pada tanggal 9 Agustus 2007. Banyak negara di dunia yang bergantung pada kucuran kredit dari Amerika Serikat. Dampak jatuhnya ekonomi Amerika Serikat berpengaruh secara global kepada negara-negara di dunia terutama di Indonesia. Sebagian komoditas yang ada di dunia ini dinyatakan dalam dollar. Semua investasi, cadangan surplus dan devisa negara-negara di dunia disimpan dalam dollar sehingga keterpurukan kondisi keuangan di Amerika Serikat yang terjadi pasti mempengaruhi kondisi keuangan negara-negara tersebut. Munculnya lembaga-lembaga keuangan bukan bank (LKBB) baru, bank pemberi kredit dapat menggeser risiko kredit kepada pihak lain. Pihak lain ini adalah perusahaan asuransi yang menjamin kredit serta LKBB yang mengeluarkan dan mengedarkan ABCP(Asset-Baked Commercial Paper) dan MSB (Mortgage-Baked Securities) tersebut disebut sebagai bank bayangan (shadow banks). Salah satu bentuk dari LKBB tersebut adalah SPV (Special Purpose Vehicle), yang tujuannya hanya untuk menarik kembali pokok dan bunga kredit dan meneruskannya kepada pemberi kredit, sebagai debt collector.Bentuk lain adalah SIV (Structured Investment Vehicle) yang membeli kredit jangka panjang yang kurang liquid dan merubahnya menjadi surat berharga ABCP atau MSB berjangka pendek. SIV mengurangi risiko kredit dengan cara menggabungkan berbagai bentuk tagihan kredit dalam satu pool, mengasuransikannya serta mengelompokkannya menurut tingkat risiko (traching). Shadow banking system tersebut mengandalkan pembelanjaan usahanya pada hutang (highly leveraged financing), tidak tunduk pada pengaturan yang ketat oleh bank sentral dan tidak mendapatkan fasilitas kredit. Krisis terjadi karena besarnya ekspansi kredit pemilikan rumah selama masa jabatan Gubernur Bank Sentral Greenspan selama 10 tahun terakhir. Pada masa itu, tingkat suku bunga bank sangat rendah dan tingkat laju pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sangat tinggi. Karena rendahnya tingkat suku bunga dan dapat digesernya risiko kredit pada shadow banking system, telah menyebabkan pemilihan nasabah kredit oleh bank komersial menjadi kurang berhati-hati
Dampak umum krisis ekonomi global di Indonesia
Keterkaitan perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia tercermin dari transaksi neraca pembayaran luar negerinya. Neraca pembayaran luar negeri itu mencatat transaksi barang dan jasa, balas jasa factor produksi, terutama modal dan tenaga kerja, maupun lalu lintas modal antara satu negara dengan luar negeri.
Ketergantungan pada pemasukan modal asing
Karena kecanggihan teknologi komunikasi dan prosessing data, dampak negative yang paling cepat dirasakan akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sector keuangan. Pelarian modal asing untuk mengatasi kesulitan keuangan, kantor pusatnya di negara asalnya langsung menurunkan indeks harga saham di bursa efek Indonesia (BEI). Untuk mencegah penurunan harga saham yang lebih tajam, pemerintah telah mengambil tiga tindakan. Pertama, menghentikan kegiatan bursa selama 5 hari antara tanggal 8 hingga 13 Oktober 2008. Kedua, merubah aturan main di BEJ dengan menerapkan asymmetric auto rejection (batas atas 20 % dan batas bawah 10 %). Ketiga, bagaikan “Gebrakan Sumarlin” pada masa Orde Baru, pemerintah meminta BUMN yang sudah menjual saham di BEJ untuk melakukan buyback atau membeli sahamnya kembali.
Ketergantungan pada dana asing bukan saja dialami dunia usaha dan industri perbankan, tetapi juga oleh pemerintah. Karena IGGI/CGI sudah dibubarkan dan SUN (surat Utang Negara) tidak lagi laku dijual di pasar komersil, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali minta pinjaman dana dari IMF, Bank Dunia dan ADB maupun dari berbagai negara donor seperti Australia. Di lain pihak, kemampuan keuangan lembaga-lembaga keuangan multilateral itu sangat rendah dewasa ini.
Ketergantungan dunia usaha, perbankan dan Pemeintah Indonesia pada pemasukan modal asing terjadi karena jumlah tabungan nasional kita tidak cukup untuk membelanjai keperluan investasi di dalam negeri maupun menutup defisit anggaran negara.
Ekspor dan Impor
Dampak kedua yang juga langsung dirasakan akibat dari krisis global adalah penurunan ekspor yang sangat tajam akibat dari adanya penurunan harga maupun jumlah permintaannya.
Pasar Tenaga Kerja
Peningkatan pengangguran tenaga kerja dan jumlah masyarakat miskin merupakan dampak ketiga yang akan segera kita alami. Resesi global sekaligus akan memutuskan hubungan kerja tenaga kerja indinesia (TKI) di luar negeri dan memulangkan mereka ke Indonesia. Pemutusan hubungan kerja dan pemulangan TKI seperti ini tidak saja akan menambah berat tekanan pada pasar tenga kerja di Indonesia tapi sekaligus mengurangi pendapatan devisa kita dari penghasilan mereka di luar negeri (remittances).
Jaminan atas deposito pada perbankan
Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya perpindahan dana antar lembaga keuangan ataupun antar negara dlam rangka mencari keselamatan dananya (flight to quality).
Upaya penyelamatan bank
Untuk memulihkan kegiatan industry perbankan, pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia telah mengambil tiga bentuk kebijakan. Kebijakan yang pertama adalah untuk memulihkan kesulitan likuiditasnya dengan menambah jumlah dan jenis fasilitas diskonto dari bank sentral dan sekaligus dengan menurunkan tingkat suku bunga nominalnya, yang dewasa ini hamper mendekati 0 %. Kebijakan kedua adalah dengan menguatkan modal bank apakah dengan menyuntikkan modal dari departemen keuangan atau menasionalisirnya ataupun membeli kreditnya yang bermasalah, terutama kredit pemilikan rumah. Kebijakan yang ketiga adalah menambah kepercayaan masyarakat untuk menyimpan deposito pada industry perbankan dengan meningkatkan jumlah deposito bank yang dijamin oleh asuransi deposito.
Upaya penanganan kesulitan likuiditas
Karena adanya erosi kepercayaan terhadap surat-surat berharga, pinjaman antar bank terganggu karena pihak yang melakukan transaksi tidak yakin mengenai kesehatan (creditwortiness) mitra transaksinya ataupun kemampuannya untuk memobilisir dana pada saat yang diperlukan.
Kesimpulan
Dalam akhir paparannya, Prof. Dr. Anwar Nasution selaku pemateri menyimpulkan bahwa jika kita ingin kembali bangkit maka kita harus kembali amalkan sikap-sikap positif seperti akhlakhul karimah agar bisa menjadi bangsa yang kuat menghadapi dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi.

Dalam acara ini juga diberikan kesempatan kepada peserta kuliah umum untuk mengajukan pertanyaan. Kesempatan bertanya pertama diberikan pada Iwan Budiono, akademisi UNDIP yang menyampaikan 2 pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana cara agar kita bisa kembali ke sikap-sikap baik? Apakah perlu dibangun suatu system agar kita bisa kembali ke sikap-sikap baik?. Kedua, apa hambatan kita untuk menjadi mandiri?. Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Prof. Dr. Anwar Nasution menyatakan bahwa kita harus bersikap transparan dan tertib. Seperti transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan negara. Kembali pada kejujuran dalam melakukan setiap perbuatan . Seluruh transaksi yang terjadi di dunia dilakukan dalam mata uang dollar. Agar terhindar dari dampak krisis ekonomi global seperti saat ini, kita bisa menggunakan alternative mata uang lain dalam transaksi keuangan global seperti euro. Standar penggunaan emas juga kembali diusulkan untuk mengatasi krisis yang terjadi. Namun berbagai alternative yang dikemukakan belum ada yang benar-benar mampu mengatasi krisis ekonomi global yang terjadi saat ini. Negara Indonesia kaya akan berbagai sumber daya yang memungkinkan kita menjadi negara yang lebih kaya namun hal tersebut sulit diwujudkan karena sikap boros kita. Selain itu jumlah penduduk besar yang dimiliki Indonesia tidak diimbangi dengan kualitas yang tinggi pula. Kurangnya fasilitas pendukung dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kesempatan bertanya yang kedua diberikan pada Sandy Arief, mahasiswa Magister Akuntansi UNDIP, yang menanyakan mengenai ketepatan penerapan kebijakan pemerintah tentang ekspor dalam mengatasi permasalahan ekspor impor yang dialami Indonesia. Menurut Prof. Dr. Anwar Nasution, menanggapi permasalahan tersebut, selain meningkatkan produktivitas, harus meningkatkan kurs devisa nilai ekspor sehingga nilai ekspor jadi melemah agar daya saing di luar negeri bisa menguat. Inflasi di Indonesia turun hanya karena nilai rupiah yang menguat. Tidak ada diversifikasi produk dalam negeri yang bisa membuat produk buatan dalam negeri menjadi pembeda diantara produk-produk yang beredar dan menjadi produk yang paling diminati di Indonesia. Produk dalam negeri umumnya tidak memiiliki keunikan dan daya jual tinggi yang memungkinkannya bersaing dengan merek-merek global.

Kuliah umum dengan tema “Krisis Keuangan Global dan Indonesia” berakhir tepat pada pukul 16.30 WIB. Acara ini ditutup dengan pemberian cinderamata yang disampaikan oleh Prof. Dr. Susilo Wibowo selaku Rektor UNDIP kepada Prof. Dr. Anwar Nasution. Begitu juga sebaliknya Ketua BPK, Prof. Dr. Anwar Nasution, membalas memberikan cinderamata kepada Rektor UNDIP yang dikemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dari peserta kuliah umum, sebagai tanda berakhirnya acara.